HomeLintas BeritaBank BTN Dinilai LECEHKAN Pengadilan dalam Kasus UGR Tol Cisumdawu, Simak Pendapat...

Bank BTN Dinilai LECEHKAN Pengadilan dalam Kasus UGR Tol Cisumdawu, Simak Pendapat Para Pakar Hukum:

JAYANTARANEWS.COM, Sumedang

Kontroversi pemblokiran uang ganti rugi Tol Cisumdawu oleh Kejari Sumedang menuai banyak respon dari para praktisi hukum. Sebuah konflik tumpang tindihnya kewenangan terkait hak dana UGR 320 miliar yang tersimpan di Bank BTN KC Bandung Timur. 

Tim redaksi menggali informasi dari berbagai pemberitaan yang beredar dan keterangan dari ahli waris untuk mengkonfirmasi fenomena hukum tersebut kapada para praktisi hukum. Menurut mereka, karena sejatinya tak ada sedikitpun hak dan kewenangan Bank BTN untuk tidak melaksanakan perintah PN Sumedang guna menyerahkan uang ganti rugi (UGR) yang dititipkan (dikonsinyasi) di Bank BTN Bandung Timur kepada ahli waris yang berhak, berdasarkan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. 

Baca berita terkait: Rancu! Soal Pembayaran UGR Tol Cisumdawu, Pengadilan Cairkan Konsinyasi, Kejari Sumedang Blokir Rekening

Sebagaimana diketahui, BTN cabang Bandung Timur menolak menyerahkan UGR dengan alasan :

1. Kejaksaan Negeri Sumedang belum melakukan pencabutan pemblokiran pembayaran uang konsinyasi surat Kejari Sumedang B-936/M.2.22/Fd.1/06/2024, tanggal 6 Juni 2024.

2. Bahwa ada aturan OJK, Bank wajib menolak transaksi dengan nasabah yang diketahui dan/atau patut diduga berasal dari hasil tindak pidana (vide pasal 49 ayat 1 huruf e POJK No. 8 Tahun 2023). 

Atas keputusan Bank BTN tersebut, redaksi meminta pendapat Pakar Hukum Pidana Perbankan, Dr. Yahya N. Takalapeta, SH., yang berkesempatan dihubungi melalui sambungan telepon. 

“Surat jaksa tersebut bukanlah surat blokir sebagaimana yang dimaksud dan diatur dalam KUHAP Pasal 38 (1), bahwa penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat ijin Ketua PN setempat. Bahkan, dalam RUU KUHAP diatur; “perintah pemblokiran sebagaimana pada ayat (1) ditetapkan oleh atasan langsung penyidik setelah mendapat ijin pemblokiran dari PN” (Pasal 13 ayat (2) (RUU KUHP-Red),” ungkap Yahya. 

Penjelasan Yahya tersebut terkonfirmasi. Dan berdasarkan surat Kajari tanggal 21 Juni 2024, Yenita Sari, SH., MH., mengklarifikasi, bahwa surat tanggal 6 Juni 2024 yang ditujukan kepada Bank BTN Bandung Timur adalah sebagai bentuk pemberitahuan, bahwa uang konsinyasi tersebut merupakan obyek penyidikan perkara dugaan Tipikor dan ‘tidak terdapat upaya paksa’ dalam permohonan tersebut.  

Baca juga: Pencairan UGR Tol Cisumdawu TERSANDERA, Bank BTN KC Bandung Timur Akan DiPraperadilankan

“Surat tertanggal 6 Juni 2024 hanyalah surat permohonan biasa, bukan surat perintah blokir sebagaimana yang diatur oleh undang-undang. Bank BTN tidak boleh menafsir lebih dari apa yang dimaksud oleh Kajari Sumedang. Jadi clean and clear surat yang dimaksud bukanlah pemblokiran, dan sama sekali tak ada ijin dari PN setempat,” tutur Yahya. 

Lebih lanjut Yahya menyoroti persyaratan pencairan dari Bank BTN, terkait surat pemblokiran. Bank BTN hanya mau menyerahkan jika ada pencabutan pemblokiran rekening.

“Syarat Bank BTN agar ada pencabutan blokir dari Kejaksaan adalah tak beralasan. Bagaimana minta pencabutan blokir, kalau pihak kejaksaan tidak pernah memerintahkan (memaksa) pemblokiran sebagaimana penjelasan Kajari Sumedang? Bank BTN berlebihan dan cenderung mengada-ngada. Justru sebaliknya, Bank BTN sejatinya dapat merujuk pada surat klarifikasi Kajari, tanggal 21 Juni 2024, sebagai dasar penyerahan UGR,” lanjutnya.

Masih menurut Yahya, aturan OJK yang dirujuk oleh BTN Bandung Timur, sama sekali tidak berdasar hukum. “Itu kan uang ganti rugi yang dikonsinyasi, dimana pencucian uangnya? Lantas masalah pidana yang disasar, sama sekali tak berkaitan dengan para ahli waris. Itu kan penyidikan dan penyelidikan terhadap pihak lain yang kalah dalam perkara. Jadi jangan ahli waris yang menang yang dijadikan tumbal, sehingga hak-hak mereka tersandera. Aturan OJK itu tak bisa diterapkan dalam kasus ini. BTN terlalu jauh dan ugal-ugalan dalam menerjemahkan hukum,” tegas Yahya. 

Tidak ada kewenangan BTN sama sekali untuk menahan UGR, apalagi sudah ada penjelasan  tertulis dari PN Sumedang, tanggal 6 Juni 2024, bahwa putusan sudah inkrah dan agar BTN melaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku. 

“Ada apa dengan Bank BTN yang merasa lebih berkuasa dari pengadilan? Bank BTN sudah melecehkan pengadilan,” imbuh Yahya lagi.

Pada kesempatan berbeda, tim redaksi mencoba menggali pendapat ahli lainnya, yaitu Yanwitra, SH., MH., yang merupakan praktisi hukum senior, yang selama 40 tahun berkecimpung dalam dunia kepaniteraan, Desertasi Doktor, UU 2 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

“Bank hanya berkewenangan sebatas menyimpan uang konsinyasi, selama masih dispute. Apabila sudah inkrah dan ada perintah bayar dari pengadilan, Bank wajib melaksanakannya, tanpa reserve, apalagi dengan sekedar merujuk Pasal 49 POJK tersebut,” kata Yanwitra melalui pesan tertulis.

Menurut Yanwitra, BTN tak bisa dipersalahkan oleh siapapun di kemudian hari, karena melaksanakan perintah pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Berdasarkan UU No. 2 Tahun 2012 Pasal 41 (5), tuntutan pihak lain atas Obyek Pengadaan Tanah yang telah diserahkan kepada instansi yang memerlukan tanah, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menjadi tanggung jawab pihak yang berhak menerima Ganti Kerugian.

“Jadi, apabila ada tuntutan jaksa di kemudian hari, sepenuhnya adalah tanggung jawab yang menerima UGR, bukan kepada pejabat ataupun institusi Bank BTN,” sambung Yanwitra.

Senada dengan Dr. Yahya, Yanwitra tidak melihat POJK No. 8 Tahun 2023 dapat diterapkan, karena asal usul UGR itu jelas berasal dari APBN, tidak ada pencucian uang di situ, dan telah dikonsinyasi bertahun-tahun di bank melalui RPL PN Sumedang. Seandainya persoalan lebih bayar yang dipersoalkan, juga sesuatu yang absurd. KJPP dalam menghitung ganti rugi menerapkan konsep ganti untung untuk menjamin hak para pemilik obyek pengadaan tanah, sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2012, dan sama sekali bukan ranah Bank BTN.

“Seandainya BTN terus berdalih dengan surat blokir yang sejatinya menurut Kajari Sumedang bukan blokir, dan tetap merujuk pada POJK yang salah kaprah, adalah terhormat bagi Bank BTN mengembalikan uang titipan tersebut kepada PN Sumedang, untuk ditempatkan di Bank Pemerintah lainnya. Tak perlu memancing kegaduhan dan kecurigaan masyarakat. Selanjutnya, demi keadilan dan kepastian hukum, perlu juga bagi pengadilan dalam hal ini Mahkamah Agung, untuk mengkaji ulang kerja sama penempatan konsinyasi dengan Bank BTN, agar tidak muncul lagi hal-hal yang tidak sesuai dengan aturan dan perundang-undangan yang berlaku. Coret saja BTN dari daftar bank kerja sama. Sesungguhnya, Bank BTN akan terhindar kehilangan dana murah triliunan rupiah dengan menghormati hukum,” pungkas Yanwitra. (Red)

Stay Connected
16,985FansLike
2,458FollowersFollow
61,453SubscribersSubscribe
Must Read
Related News